Assalamu’alaykum Warohmatullahi Wabarakatuh…Bismillah walhamdulillah, asholatu wassalamu ‘ala rosulillah…
Banjir …. Banjiiiir…. Datang tanpa diundang, hampir semua anak di negeri ini memiliki ingatan tentang banjir.
Banjir dianggap musibah besar bagi sebagian orang, terutama yang memang sebelumnya tidak pernah merasakan kejadian tersebut.
Penulis memiliki pengalaman yang lumayan menghebohkan tentang banjir, sejak masa kecil di komplek perumahan, dalam era berkuliyyah, serta ketika sudah menikah dan memiliki jundi. Alhamdulillah… Satu hal yang menjadi catatan pelajaran penting dalam ingatan tentang banjir ini : Musibah Banjir merupakan Kiriman Cinta Allah SWT untukku dan keluarga supaya naik kelas.
Bukan basa-basi, sebab semasa kecil, setiap banjir reda, bapakku menerima bonus lembur dan gajian, dan kami sekeluarga bisa menikmati cemilan dan menu lebih banyak di rumah.
Ketika berkuliyyah, mengalami kebanjiran di jalanan area kos, ternyata menjadi cambukan motivasi supaya cepat lulus ujian, lalu Allah SWT bagi kemudahan meraih pengalaman-pengalaman kerja awal di Jerman, padahal ijazah belum diterbitkan, MasyaAllah!
Keajaiban kiriman cintaNya pun dikenang oleh bang Azzam kecil saat Tangerang kebanjiran (banjir bandang yang besar, 2006 dan 2007). Saat itu baru saja selesai memperbaiki beberapa benda di rumah, baru mengepel lantai, dan baru seminggu memiliki kulkas baru karena memperoleh THR dari perusahaan. Tidak sampai sepuluh menit, air datang dan menenggelamkan perabotan, termasuk ratusan buku kuliyyah yang masih disimpan rapi. Ditambah serbuan tikus dan kecoak yang menakuti para balita di kompleks perumahan, air mata tak tertampung lagi, semuanya bercampur air hujan nan tak kunjung berhenti seharian. Subhanallah!
Namun rupanya beberapa bulan kemudian, Allah SWT mengirimkan hadiah ‘bonus kesabaran’ itu, kapten kami, Ustadz Anggana memperoleh panggilan kerja ke Bangkok, sejak itulah karir terus berlanjut di berbagai negeri, Allah SWT melimpahkan kekayaan berharga berupa pengetahuan dan pengalaman – pengalaman unik yang kami sekeluarga dapat nikmati dengan rasa syukur.
Sungguh… Ternyata di tahun 2010, Penulis mengalami hal yang mengerikan lebih dari itu. Di Poland, banjir pun terjadi jika ada pergantian musim. Terutama saat musim gugur menuju musim salju, tanah lapang berubah menjadi tempat bermain ulat-ulat dan cacing tanah, besar-besar ukurannya, sobs! Banjir di beberapa daerah pedesaan membuat hewan ternak mereka mati, kendang dan rumah singgah di kebun roboh. Banjir menenggelamkan banyak benda, atas izinNYA. Sebuah kondisi yang menjadi wasilah perkenalan penulis dan keluarga dengan beberapa sahabat muallaf di sana. Masya Allah… Tabarokalloh…
Sehingga ‘Banjir’ tak lagi kami sebut musibah, seringkali kami langsung memaknai banjir dengan berarti akan segera bertambahnya keluasan rezki dari Allah SWT alias banjir kenikmatan dariNYA.
Betul, bahwa banjir merupakan fenomena alam yang sering terjadi ketika musim hujan tiba. Namun, tak salah jika kita terus berupaya meminimalisasi dengan segala daya upaya guna meredamnya, karena kita adalah manusia berpikir.
Manusia yang terus mencoba memikirkan ulang tentang bentuk relasi perbuatan kita dengan alam sekitar. Dalam ajaran agama Islam, itu merupakan pertanda berfungsinya sisi kemanusiaan sekaligus keilahian dalam diri.
Di dalam Al Quran, banjir pernah menelan korban jiwa kaum ‘Ad, negeri Saba’ dan kaumnya Nabi Nuh.
Peristiwa ini dapat kita telaah dalam beberapa ayat di antaranya Surah Hud ayat 32-49, Surah al-A’raf ayat 65-72, dan Surah Saba ayat 15-16. Secara teologis, awal timbulnya banjir tersebut karena pembangkangan umat manusia pada ajaran Tuhan yang coba disampaikan para nabi. Namun, secara ekologis, bencana tersebut bisa diakibatkan ketidakseimbangan dan disorientasi manusia ketika memperlakukan alam sekitar.
Betul juga apa yang terkandung dalam Al Quran, “Bukanlah Kami yang menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, (disebabkan) citra (kondisi) lingkungan mereka tidak mampu menolong di saat banjir, bahkan mereka semakin terpuruk dalam kehancuran”. (Q.S. Hud: 101).
Islam tentu saja mengemban misi suci dalam setiap gerakannya. Semua lini kehidupan mesti mendapat perhatian dari aktivis dakwah Islam agar mendapatkan keberkahan dari-Nya (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Tak terkecuali dengan lingkungan hidup sekitar kita.
Hewan, alam, dan manusia merupakan “trias kehidupan” yang mesti melandasi relasi hidup dengan penghargaan. Bukankah, ketika kita sakit, sang dokter akan memberikan resep obat yang terbuat dari bahan-bahan yang dihasilkan alam? Doktrin Islam pun mengajarkan, hidup tak boleh dihiasi dengan laku eksploitatif dan merusak (wa laa tufsidu fi al-ardh). Termasuk ketika kita berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Selokan, seharusnya tak dipenuhi sampah yang menggunung, pembangunan gedung atau perumahan mesti menggunakan analisis dampak lingkungan (amdal), dan kawasan yang rawan bencana mestinya dilindungi oleh pemangku jabatan.
Hukum sebab akibat ternyata tak dipatri dalam jiwa umat manusia. Ada saluran mampat dengan sampah menumpuk, tentunya akan berakibat pada meluapnya aliran pada saluran air itu. Namun, hal ini tak membuat jera umat manusia membuang sampah ke sungai, sehingga yang terjadi adalah terulangnya banjir di sejumlah daerah. Banjir lebih banyak diinisiasi oleh perilaku tak terpuji dengan merusak keseimbangan ekosistem sekitar. Oleh karena itulah, eksistensi penyeru (dai) ramah lingkungan di tengah bencana alam yang kerap terjadi di musim hujan ini, merupakan keniscayaan tak nisbi.
Makna kata ayaatina (ayat-ayat Kami) dalam Al Quran tak hanya memiliki arti ayat-ayat tertulis, tetapi lebih luas lagi, yakni meliputi ayat-ayat yang yang menghampar di lingkungan sekitar. Banjir yang disebutkan dalam Al Quran, meskipun tak menyebutkan secara spesifik penyebab ekologis terjadinya banjir, itu bukan berarti Islam menghalalkan perusakan lingkungan hidup. Justru ketika tidak disebutkan secara spesifik, mengindikasikan umat manusia dapat melakukan penafsiran yang bersifat ekologis. Dalam pendekatan ini, banjir tak sekadar dipahami sebagai musibah atau azab dari Tuhan, melainkan juga gejala kesakitan ekologis yang diakibatkan manusia tak mengikuti hukum Tuhan.
Ingat, Dia (Allah) menciptakan bumi beserta kehidupan dalam sebuah keteraturan (ekuilibrium). Oleh karena itu, ketika manusia merusak keteraturan tersebut, efek samping akan berubah menjadi musibah. Dan, sudah dapat dipastikan apabila musibah tersebut berasal dari ulah manusia yang eksploitatif terhadap alam sekitar, tepat rasanya kalau disebut sebagai azab. Namun, bagaimana dengan kebijakan pemerintah yang tak bisa menyediakan pengelolaan lingkungan? Siapakah yang akan menanggung dosanya? Warga korban banjir ataukah sang pemimpin?
Tentunya, banjir yang terjadi adalah dosa bagi orang yang menjabat sebagai pejabat tertentu. Mereka tidak menyediakan ruang untuk membuang sampah. Baiknya kita renungkan ayat qauliyah berikut, “Mereka mendustakan Allah, maka Kami selamatkan nabi Nuh dan pengikutnya dengan naik kapal dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustai ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka adalah komunitas yang buta.” (Q.S. Al-A’raf: 64).
Pada surat yang lain, Allah berfirman, “Dan tatkala datang adzab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari `adzab yang berat. (Q.S. Hud: 58). Termasuk pada golongan manakah kita? Mudah-mudahan termasuk pada golongan umat manusia yang sadar, bahwa membina relasi harmonis dengan alam sekitar merupakan misi suci dalam Islam.
Semoga kita semua ummat Islam, dai daiyah yang memahami ‘pentingnya menjaga lingkungan’ dapat mengaplikasikan ilmu dengan amalan kebaikan yang membawa manfaat bagi alam semesta.
@bidadari_Azzam, KL Awal Januari 2020