Home » Kondisi Umat » Al-Inqilabul Islamiy

Al-Inqilabul Islamiy

Bismillah walhamdulillah washollu ‘alannabiy shollalahu ‘alayhi wassalam…

Maksud dari judul pembahasan kita kali ini adalah transformasi islami, yang merupakan proses setelah kita memahami dua kalimah syahadat.

#contoh praktek : Dari amalan riya’ Menjadi (selalu belajar) ikhlas, Dari percaya pada tahayul, ‘mitos’, lalu berubah menjadi lebih tenang dengan dzikrullah dan percaya diri dengan hamparan takdir Allah Subhanahu wata’ala. 

Al-Inqilabul Islamiy, Manakala dua pilar takwinul ummah (pembentukan umat)—yakni takwinus syakhshiyyah dan takwinur ruhil jama’ah—mampu ditegakkan di atas fondasi la ilaha illa-Llah Muhammadur Rasulullah, maka akan terjadilah proses al-inqilabul Islamiy (transformasi islami) di tengah-tengah umat Islam.

Pertama, 

transformasi dalam aspek al-i’tiqadiy (keyakinan). Dari kondisi diliputi debu-debu kemusyrikan menjadi kondisi bersih dan segar dalam ketauhidan; dari kekufuran menjadi iman; dari riya’ menjadi ikhlas.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (QS. Al-An’am, 6: 162 – 163)

Kedua, transformasi dalam aspek ar-ruhiy (ruhani). Dari kondisi ruhani yang tunduk kepada hawa nafsu menjadi kondisi ruhani yang mampu mengendalikan hawa nafsu; dari hati yang lalai menjadi hati yang selalu ingat kepada Allah Ta’ala.

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran, 3: 191)

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’du, 13: 28)

Ketiga, transformasi dalam aspek al-fikriy (pemikiran). Dari kondisi pemikiran yang terkontaminasi syubhat menjadi kondisi pemikiran yang lurus dalam bingkai manhaj Islam. Mereka memandang al-haqa’iqul kubra (berbagai persoalan besar)— yakni: al-uluhiyyah (ketuhanan), ar-risalah (kerasulan), al-‘ibadah (ibadah), al-kaunu (alam), al-insan (manusia), dan al-hayah (kehidupan)—dengan al-bashair (pengertian, pengetahuan, dan kecerdasan) yang dilandasi wahyu.

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah: ‘Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik’”. (QS, Yusuf, 12: 108)

Keempat, transformasi dalam aspek as-sulukiy (perilaku). Dari perilaku jahiliyyah menjadi perilaku yang islami. Dari akhlak dan adat jahiliyyah menjadi akhlak dan adat Islam; dari sikap ashabiyyah (fanatisme golongan) menjadi sikap ukhuwwah; dari sikap tabarruj menjadi sikap iffah; dari sikap permusuhan menjadi sikap saling cinta; dari sikap khianat menjadi sikap setia.

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَق

“Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Malik dalam AlMuwaththa’)

Kelima, transformasi dalam aspek at-tsaqafiy (pengetahuan, kebudadayaan dan peradaban). Dari pengekor ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban menjadi pelopor ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban.

Diantara contoh kemajuan dalam aspek at-tsaqafy adalah berlangsungnya aktivitas ‘imaratul ardhi (pemakmurkan bumi). Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ

“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya. Maka mohonlah ampunan dan bertaubatlah kepadaNya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Dekat dan Memenuhi segala permintaan”. (QS. Hud, 11: 61)

Ustadz Attabiq Luthfi hafidhahullah dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa ayat ini oleh Imam Al-Alusi rahimahullah dijadikan dalil akan kewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan kemampuan dan peran setiap orang yang beriman. Sedangkan menurut Ibnu Asyur rahimahullah, maksud dari kata ‘isti’mar’ yang sinonim dengan i’mar’ adalah aktivitas meramaikan bumi dengan penataan bangunan dan pelestarian lingkungan dengan menanam pohon dan bercocok tanam sehingga semakin panjang usia kehidupan bumi ini dengan seluruh penghuninya. Dikemukakan pula oleh Imam Zamakhsyari rahimahullah dalam Al-Kasyaf kisah tentang raja-raja Parsi yang sepanjang pemerintahan mereka banyak membuat sungai dan menanam pohon sehingga mereka diberi kesempatan hidup lama oleh Allah Ta’ala seperti yang ditunjukkan oleh akar kata isti’mar atau i’mar yaitu al-‘umr yang berarti usia. Ketika salah seorang nabi bertanya kepada Allah Ta’ala tentang fenomena tersebut: “Kenapa Engkau berbuat demikian kepada mereka? (dengan memperpanjang usia mereka)”. Allah Ta’ala menjawab: “Mereka telah menghidupkan bumiKu (dengan memakmurkannya) sehingga hamba-hambaKu dapat hidup dengan baik di atasnya”.[1]

Keenam, transformasi dalam aspek al-ijtima’iy (sosial). Dari kehidupan sosial yang tidak islami menjadi kehidupan sosial yang islami. Hubungan antara anggota keluarga, tetangga, sesama muslim, dengan non muslim, hubungan perkawinan, kemasyarakatan, dan bahkan hubungan internasional; seluruhnya terwarnai oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Islam menanamkan nilai-nilai berkaitan dengan pergaulan antara suami-istri, orang tua dan anak, serta kerabat,

(1) Akhlak pergaulan suami istri misalnya disebutkan dalam ayat berikut,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa, 4: 19)

(2) Pergaulan orang tua dan anak,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’”. (QS. Al-Ahqaf, 46: 15)

Kemudian dalam ayat yang lain,

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra, 17: 31)

(3) Pergaulan antara kerabat dan sanak famili,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl, 16: 90)

Kemudian dalam ayat yang lainnya,

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isra, 17: 26)

Islam juga menanamkan nilai-nilai dalam kemasyarakatan.

  • Tata krama

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nuur, 24: 27)

  • Bertetangga

Kehidupan bertetangga dalam Islam dihubungkan dengan masalah keimanan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)

Mengenai kehidupan bertetangga ini disinggung pula dalam firman Allah Ta’ala,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa, 4: 36)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan”[2]

  • Pergaulan dengan non muslim.

Islam bahkan telah menggariskan ketentuan pergaulan muslim dengan non muslim secara bijak. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8)

Ketujuh, transformasi dalam aspek as-siyasiy (politik). Dari politik yang berorientasi meraih syahwat menjadi politik yang berorientasi mewujudkan kemaslahatan dan menghambat kemudharatan.

Tujuan pokok siyasah dalam Islam diantaranya diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,

الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” 

(QS. Al Hajj, 22: 41)

Yakni mengokohkan peribadahan kepada Allah Ta’ala, yang disimbolkan dengan menegakkan shalat, mewujudkan kepedulian sosial dan kesejahteraan yang disimbolkan dengan penunaian zakat, dan menjalankan fungsi kontrol sosial yang disimbolkan dengan amar ma’ruf nahi munkar.

Islam pun memerintahkan kepada para pemimpin untuk memelihara amanah yang dibebankan kepadanya dan menetapkan hukum secara adil. Sementara itu rakyat harus taat kepada ulil amri yang berasal dari mereka sendiri dengan syarat ulil amri tersebut telah mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka pun menjadikan ketaatan kepada ulil amri sebagai tahapan lanjutan dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, mereka juga diharuskan meredam perselisihan dengan cara mengembalikannya kepada konstitusi syar’i, yakni kepada Allah dan Rasul-Nya yakni Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa, 4: 58-59)

Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58-59 ini telah dijadikan landasan utama oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam menulis kitabnya As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah. Pembahasan rinci siyasah telah banyak ditulis oleh para ulama Islam sejak lama, misalnya Imam Abul Hasan Al Mawardi rahimahullah menyusun kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Begitu pula Imam Abu Ya’ala rahimahullah dengan judul yang sama. Imam Al Haramain rahimahullah menyusun kitab Al-Ghiyats, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyusun kitab Ath-Thuruq Al Hukmiyah, Imam As Suyuthi rahimahullah menyusun kitab Al-Asathin fi ‘Adamil Muji’ As Salathin, Ibnu Syidad menyusun kitab An-Nawadir As-Sulthaniyah, dan lain sebagainya.

Kedelapan, transformasi dalam aspek al-iqtishadiy (ekonomi). Dari ekonomi kapitalis, sosialis, dan ekonomi jahiliyyah lainnya menjadi ekonomi syariah.

Islam menghargai aktivitas ekonomi. Bahkan menyebutnya sebagai bagian dari fi sabilillah, seperti diungkapkan dalam hadits berikut ini,

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رض قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ ص رَجُلٌ فَرَأَى اَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ ص مِنْ جَلَدِهِ وَ نَشَاطِهِ، فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَوْ كَانَ هذَا فِى سَبِيْلِ اللهِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى اَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ، فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِى سَبِيْلِ اللهِ، وَ اِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَ مُفَاخَرَةً فَهُوَ فِى سَبِيْلِ الشَّيْطَانِ.

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki lewat di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melihat kuat dan sigapnya orang tersebut. Lalu para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, alangkah baiknya seandainya orang ini ikut (berjuang) fi sabilillah’. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jika ia keluar untuk bekerja mencarikan kebutuhan anaknya yang masih kecil, maka ia fi sabilillah. Jika ia keluar bekerja untuk mencarikan kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia maka ia fi sabilillah. Jika ia keluar untuk bekerja mencari kebutuhannya sendiri agar terjaga kehormatannya, maka ia fi sabilillah. Tetapi jika ia keluar untuk bekerja karena riya’ (pamer) dan kesombongan maka ia di jalan syaithan’”. (HR. At-Thabrani).

Islam menetapkan pedoman bahwa berekonomi adalah amalan mulia jika diiringi dengan niat yang lurus dan tidak menyebabkan lalai dari peribadahan kepada Allah Ta’ala,

رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَار

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur, 24:37).

Bahkan Allah Ta’ala memerintahkan aktivitas ekonomi ini dapat berjalan sebagaimana mestinya dan tidak menghendaki manusia menghabiskan waktu hanya untuk ibadah ritual. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak- banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah, 62: 9-10)

Islam pun menetapkan patokan-patokan akhlak dalam berekonomi, Islam mengharamkan kolusi dan korupsi serta sikap curang dan tamak,

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ  الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ  وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ

“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin, 83: 1-3)

Tidak dibenarkan pula aktivitas ekonomi tersebut mengandung unsur riba. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah, 2: 275).

Salah satu prinsip manhaj Islam berkaitan dengan ekonomi yang tidak boleh dilupakan adalah prinsip bergulirnya harta secara merata. Hal ini disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr, 59: 7).

Islam menghendaki agar harta tidak beredar diantara orang-orang kaya saja, artinya diperlukan adanya pemerataan harta dalam kegiatan distribusi. Jadi harta itu bukan milik pribadi sepenuhnya, akan tetapi di dalam ssebagian harta kita itu ada hak milik orang muslim lainnya yang tidak mampu.

Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat melalui kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infaq, serta adanya hukum waris, dan wasiat serta hibah. Aturan ini diberlakukan agar tidak terjadi konsentrasi harta pada sebagian kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak terjadi monopoli dan mendukung distribusi kekayaan serta memberikan latihan moral tentang pembelanjaan harta secara benar.[3]

*****

Transformasi pada seluruh aspek tersebut menyebabkan terjadinya al-inqilabul harakiy (transformasi pada seluruh gerak) masyarakat Islam, baik secara individu maupun kolektif menuju kafatul Islam (totalitas Islam).

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 208)

Semoga bermanfaat, hijrah dan bertransformasi adalah proses seumur hidup, Barokallohufeekum! (@ummuazzam1983)

Catatan Kaki:

[1] Lihat: http://www.dakwatuna.com/2011/01/10/10627

[2] Tafsir As Sa’di, 1/177

[3] Lihat: Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Prespektif Islam (Yogyakarta : PBFE-Yogyakarta, 2004  hal. 310).

#saved #temanalquran_quranloverfamily

Check Also

Bayi Baru Lahir di Gaza Terancam Meninggal Akibat Blokade Israel

Bayi-bayi yang baru lahir di Gaza menghadapi risiko kematian akibat kelangkaan makanan, obat-obatan, dan pasokan ...

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: